Cerita Relawan: Trisa

Menjadi Relawan Kopernik di Flores

Saya lupa kapan terakhir kalinya saya menunggu kabar sampai gelisah seperti menunggu kabar dari Kopernik. Setelah sekitar sebulan saya akrab dengan perasaan harap-harap cemas akhirnya bisa plong juga setelah saya dihubungi oleh tim dari Kopernik yaitu Ina Saptiono bahwa saya terpilih jadi salah satu relawan Kopernik.

Ini bukan kali pertama saya menjadi relawan, sebelumnya saya pernah dan bahkan masih menjadi relawan untuk beberapa organisasi. Tapi yang ini beda! Beda dari segi isu dan dari segi lokasi kegiatan. Selama ini, kegiatan relawan yang saya ikuti isunya antara lain mengenai fauna, sosial, lingkungan hidup, dan pendidikan anak-anak. Lokasinya juga masih di sekitar Jakarta saja. Kali ini, bersama Kopernik, isunya mengenai teknologi dan di Flores.

Terus kenapa saya tertarik? Karena bisa jalan-jalan ke Flores, dan selain itu karena teknologi yang diperkenalkan ramah lingkungan dan membantu meningktakan kualitas hidup masyarakat, sekaligus memberdayakan perempuan melalui program Indonesian Women 4 Energy(#IDWomen4Energy) Ibu Inspirasi (#IbuInspirasi). Alasan lengkapnya sudah saya tuangkan dalam video aplikasi saya di bawah ini.

OK, saya tahu saya bukan ahli di bidang teknologi. Tapi teknologi yang dimaksud juga bukan teknologi yang rumit dan njelimet juga sih, melainkanteknologi tepat guna sederhana bagi masyarakat yang sangat membutuhkan; seperti lampu tenaga surya, penyaring air minum, dan kompor biomassa.


Varian lampu tenaga surya.

Sekarang gini deh. Kita ambil contoh elektrifikasi, khususnya penerangan. Di Flores sana banyak wilayah yang belum mendapatkan akses listrik. Kalau tidak ada akses listrik, tidak ada lampu penerangan berarti waktu belajar bagi anak-anak sangat pendek karena ketika malam datang kegiatan belajar harus berhenti. Kalau pun mau terus dilanjutkan belajar dengan menggunakan lilin atau lampu petromak, tentu kurang nyaman dan juga tidak baik untuk kesehatan mata. Asumsinya, karena sudah ada lampu jadi semakin lama waktu untuk belajar, semakin cerdas generasi muda Indonesia sehingga dapat keluar dari kemiskinan. Meskipun tidak jaminan juga sih karena kembali lagi ke masing-masing anak dan bagaimana bimbingan dari orang tuanya.

Nah sekarang urusan penerangan sudah ada solusinya dan sudah mulai diterapkan. Anak-anak bisa menggunakan waktunya di malam hari untuk belajar tapi tidak ada buku bacaan yang memadai. Itu menjadi PR berikutnya. Maka dari itu, saya datang ke sana membawa buku bacaan bagi anak-anak yang sudah terkumpul dari para donatur melalui Sedekah Buku Indonesia. Lumayan banyak lah yang terkumpul berarti lumayan banyak juga bawaannya, sampai harus ekstra bagasi.

Tapi tidak masalah! Malah semakin semangat buat berangkat. Saking semangatnya, saya berangkat ke bandara pun super pagi! Penerbangan jam 08:00, tidak berarti harus berangkat dari Bintaro jam 05:30 juga kan ya. Apalagi lewat tol baru itu. Paling lama juga 45 menit ya kan. Saya LEBAY.

BLIND DATE

Tanggal 3 Agustus 2016 dari Jakarta saya berangkat sendiri, karena relawan lain berangkat di hari yang berbeda. Saya harus transit ke Kupang sebelum lanjut ke Larantuka, Flores Timur. Di bandara Kupang, saya janjian sama Ina Saptiono yang berangkat dari Denpasar, Bali. Selama ini kami hanya berkomunikasi melalui Whatsapp, telepon, atau Skype. Meskipun saya tidak pernah lihat muka Ina karena kamera laptopnya Ina rusak.

Sesampainya saya di bandara Kupang 🛬, saya langusng cari tempat duduk di sisi kanan bagian ruang tunggu dan duduk manis di situ. Di hadapan saya ada beberapa orang yang sudah duduk di situ, perempuan Jepang dan perempuan Indonesia. Selang waktu sekitar 15 menit, tiba lah perempuan yang saya duga Ina. Tapi saya ragu, akhirnya saya belaga cuek. Saya pikir kalau Ina sudah tiba pasti akan membalas pesan singkat saya. Terus saya nguping obrolan mereka. AHA! Saya menemukan Ina dan akhirnya kita pun mulai basa-basi deh di situ.

Kunci keberhasilan janjian ketemu sama orang yang tidak pernah kita temui sebelumnya adalah memang harus pake intuisi sih. Sama lah perasaannya kaya nunggu abang Go-Jek. Tanpa kita telepon abangnya, kita bisa tahu mana yang menjemput kita dan mana yang bukan. Ya kan? Atau cuma saya saja yang merasa seperti itu?

Akhirnya kita berangkat ke Larantuka dan begitu sampai di sana, saya kaget melihat bandaranya. Kecil banget. Komentar saya ke Ina, "Bandaranya segede Posyandu yah."

Jangan samakan seperti Bandara di Jakarta. Selama di Jakarta menunggu penerbangan ke Kupang, meskipun barang bawaan saya banyak tentu tidak masalah. Kan ada kereta dorong. Nah kalau di Larantuka, tidak ada. Jadi saya harus 2 kali bulak-balik ke dalam bandara untuk angkut barang bawaan saya ke luar sambil menunggu mobil jemputan. Untungnya ada Dimas, tim Kopernik di Larantuka. Proses angkut-mengangkut barang jadi lebih gampang. Terima kasih, Mas Dimas!

Saya tiba di Larantuka sekitar jam 15:30 dan di hari itu memang belum ada agenda apa-apa, jadi Dimas dan Ina memberi ide untuk snorkeling lihat 🐠 🐟 🐠 🐟 🐠 🐟. Hmm.. mau engga ya.. Ya mau lah!! Mampir sebentar ke rumah Kopernik untuk simpan barang lalu kita langsung meluncur ke pantai pakai motor. Oiya, jadi untuk sementara waktu Kopernik menyewa rumah yang digunakan sebagai tempat tinggal karyawannya + kucing bernama Penelope.

Setelah snorkeling pakai perlengkapan modal pinjam, kami kembali ke rumah Kopernik untuk istirahat sebentar sebelum nongkrong di Taman Kota untuk makan malam. Taman Kota adalah tempat paling kece buat nongkrong di Larantuka. Tidak ada mal, plaza, town square, city walk, ataupun café. Adanya warung tenda. Eits tapi jangan salah, di sinilah tempat makan bakso dengan pemandangan terindah dan termahal: sunset. JUARA!

MAMA YOH

Selama 14 hari di Flores, saya akan tinggal di rumah dua orang Ibu Inspirasi. Di pekan pertama saya akan tinggal bersama Mama Yoh di Desa Sarotari Tengah, Larantuka, Flores Timur. Lokasinya tidak terlalu jauh dari rumah Kopernik. Sekitar 20 menit lah.

Di hari kedua (4 Agustus 2016) saya diantar Ina dan Dimas ke rumah Mama Yoh. Saya akan tinggal di sini sampai dengan tanggal 9 Agustus 2016. Jujur agak deg-degan sih. Saya khawatir Mama Yoh tidak nyaman dengan kehadiran saya, dan saya juga khawatir saya tidak nyaman berada di sana.


Mama Yoh

Tapi kesan pertama begitu menenangkan. Setelah berkendara menggunakan motor mengikuti motor Dimas dan Ina di depan, kami tiba di sana dan disambut dengan senyum Mama Yoh yang menggemaskan. Mama Yoh sangat ramah, bersahaja dan agak malu-malu. Sambil menggendong cucunya, Aurora, kami dipersilakan masuk. Lalu Mama Yoh menyuguhkan kami kopi panas dan pisang goreng.

"OK, pisang gorengnya enak! Saya bakalan betah di sini."

Tidak lama kemudian Ina dan Dimas pamit, lalu saya dipersilakan untuk merapikan barang bawaan saya ke dalam kamar. Selesai menyimpan barang, saya nimbrung ke teras depan untuk ngobrol dengan Om Timo (suami Mama Yoh), Om Carolus (kakaknya Mama Yoh), dan Bang Yornes (putra sulung mama Yoh).

Lalu kami dipanggil untuk makan siang oleh Mama Yoh. Ternyata selama kami ngobrol, Mama Yoh sibuk masak di dapur. Masakan yang mencuri perhatian saya adalah sup buah kelor.


Daun kelor

Daun kelor yang baru pertama kali saya lihat seumur hidup ini, ternyata bisa diolah menjadi berbagai masakan. Daun dan buahnya bisa dimakan dan katanya sih baik untuk kesehatan. Oh! Dan nasinya juga bukan nasi biasa, tapi nasi jagung. Jadi beras dicampur dengan jagung. Enak, padat, dan tentunya mengenyangkan.

SUSAH AIR

Di Larantuka, yang sudah terbilang kota saja ternyata masih sulit mendapatkan air bersih yang aman dikonsumsi. Air di Flores ini kandungan kapurnya cukup tinggi. Mama Yoh dan warga sekitarnya masih harus membeli untuk mendapatkan air bersih.

Mama Yoh biasanya membeli air bersih sebanyak 1 drum besar seharga Rp20ribu yang biasanya habis dalam 2–3 hari untuk keperluan rumah tangga. Dalam sebulan sekitar Rp200ribu-Rp300ribu dikeluarkan untuk air bersih, itu belum termasuk minyak tanah untuk memasaknya supaya bisa dikonsumsi.

Nah tadi sebelum ke rumah Mama Yoh saya sempat mampir ke kantor Kopernik karena kebetulan Ibu Inspirasi lainnya, yaitu Mama Mia, ada keperluan mengambil produk untuk dibawa dan dijual ke Pulau Solor, pulau yang letaknya di seberang Larantuka.

Selain membawa lampu tenaga surya, Mama Mia membawa banyak penyaring air minum, Nazava, karena di Pulau Solor pun kesulitan air bersih. Menurut pengalaman Mama Mia, sebelum menggunakan Nazava, dalam sebulannya bisa menghabiskan 40 liter minyak tanah untuk memasak air.

Air dimasak saja tidak cukup aman untuk dikonsumsi loh. Kuman dan bakterinya memang mati, tapi kotoran dan kapur masih ada di dalamnya. Kalau terlalu banyak dikonsumsi bisa membahayakan kesehatan ginjal.


Nazava, penyaring air minum.

Saya juga takjub sih melihat alat penyaring air itu. Bentuknya sangat sederhana, cara penggunaannya sederhana, dan tidak menggunakan listrik sama sekali. Jadi kalaupun masih harus membeli air, setidaknya bisa menghemat pengeluaran untuk membeli minyak tanah.

Bahkan bagi Mama Yoh, penggunaan minyak tanah sudah sangat minim karena sudah menggunakan kompor biomassa dari Kopernik juga. Kenapa disebut kompor biomassa karena menggunakan bahan bakar seperti kayu bakar (orang Flores menyebutnya ‘kayu api’) atau kulit kemiri. Kalau kompor dengan bahan bakar kemiri lebih banyak digunakan di desa Tuakepa, kampung halamannya Mama Yoh. Di Tuakepa ada banyak sekali pohon kemiri, sebelumnya kulit kemiri hanya menjadi sampah. Sekarang bisa dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk kompor. Zero-waste.

Selain itu kompor biomassa ini tidak terlalu banyak menghasilkan asap seperti laiknya kompor minyak tanah. Jadi lebih sehat bagi pernapasan. Teknologi yang sederhana namun tepat guna, ramah lingkungan, dan lebih hemat.

Di hari berikutnya (5 Agustus 2016) saya diajak Mama Yoh ke Tuakepa. Itu tuh kampungnya Mama Yoh yang banyak pohon kemiri itu. Ke sana tujuannya untuk mengantarkan pesanan barang. Perjalanannya seru! Nanti saya cerita di tulisan berikutnya ya. Masih mau baca kan? Jawab “iya” aja dulu.

Penasaran Larantuka seperti apa? Pengen berkenalan dengan Mama Yoh? Ada di VLOG saya nih. Selamat berjalan-jalan ke Flores dan berkenalan dengan Mama Yoh.

Show More
Apa Itu Teknologi Tepat Guna?

Memangnya ada teknologi yang tidak tepat guna? Teknologi dibuat untuk memenuhi kebutuhan manusia. Setiap individu di lokasi yang berbeda memiliki kebutuhan yang berbeda, maka dari itu dibutuhkan teknologi yang berbeda-beda pula.

Tapi sebetulnya apa yang kita butuhkan? Bagi saya pribadi kadang masih sulit untuk membedakan mana keinginan dan kebutuhan. Karena suka ada bisikan setan yang bilang:

"Kalau kamu ingin berarti kamu butuh."

Rasionalisasi belaka.

Mari kita tanya Kamus Besar Bahasa Indonesia apa itu keinginan dan kebutuhan.

ke·i·ngin·an n peri-hal ingin; hasrat; kehendak; harapan ke·bu·tuh·an n yg dibutuhkan

Sederhananya, keinginan adalah sesuatu yang melengkapi kebutuhan. Contohnya makan, agar kita tidak mati kelaparan atau malnutrisi maka kita butuh makan. Makanan seperti apa? Barulah keinginan yang berbicara. Mau makan bakmi, bakso, mie ayam, ayam penyet, gado-gado, tempe bacem, gudeg, rujak, salad, sandwich, steak, dan seterusnya.

Kebutuhan primer kita adalah sandang, pangan, papan. Dan pemenuhan kebutuhan ketiganya jelas saling berhubungan, terutama untuk di daerah dengan kondisi sosial dan ekonomi tertentu semakin terasa betul keterkaitannya.

Maksudnya begini, untuk kita dapat memiliki sandang atau pakaian, seseorang harus membeli atau membuatnya. Perlu uang dong untuk membeli barang, cara mendapatkan uang adalah dengan bekerja. Ketika lapangan pekerjaan yang tersedia mengharuskan seseorang bekerja di malam hari namun tidak ada penerangan; tentu akan menghambat dan menyulitkan orang tersebut untuk bekerja. Kalaupun dapat membuat pakaiannya sendiri, keterbatasan listrik dan penerangan akan menghambat pengerjaannya ketika langit sudah gelap.


Varian lampu tenaga surya.

Sama halnya dengan papan atau tempat tinggal. Perlu uang, perlu upaya, dan akan lebih cepat bila ada uang lebih banyak dan dapat dikerjakan pada saat malam hari untuk bagian-bagian tertentu.

Dan yang paling penting adalah makan dan minum alias pangan. Manusia menghabiskan sebagian besar waktu dalam hidupnya untuk aktivitas yang berhubungan dengan makan, baik yang secara langsung yaitu seperti memasak, maupun yang tidak langsung seperti bekerja untuk mendapatkan upah yang akan digunakan untuk membeli bahan makanan.

Kita semua butuh mengonsumsi makanan yang kaya nutrisi dan minum air bersih agar sehat dan dapat beraktivitas optimal. Untuk bisa menikmati makanan yang bernutrisi perlu dimasak. Memasak perlu bahan bakar. Begitu juga air, ada air yang dapat diminum setelah dimasak namun ada air yang tidak aman untuk diminum sekali pun sudah di masak.

Nah teknologi tepat guna adalah teknologi yang diperuntukkan memenuhi kebutuhan-kebutuhan di atas. Dari wikipedia saya menemukan penjelasan soal teknologi tepat guna:

“…teknologi tepat guna umumnya dikenal sebagai pilihan teknologi beserta aplikasinya yang mempunyai karakteristik terdesentralisasi, berskala relatif kecil, padat karya, hemat energi, dan terkait erat dengan kondisi lokal.

Secara umum, dapat dikatakan bahwa teknologi tepat guna adalah teknologi yang dirancang bagi suatu masyarakat tertentu agar dapat disesuaikan dengan aspek-aspek lingkungan, keetisan, kebudayaan, sosial, politik, dan ekonomi masyarakat yang bersangkutan.

Dari tujuan yang dikehendaki, teknologi tepat guna haruslah menerapkan metode yang hemat sumber daya, mudah dirawat, dan berdampak polutif seminimal mungkin dibandingkan dengan teknologi arus utama, yang pada umumnya beremisi banyak limbah dan mencemari lingkungan.

Di Indonesia banyak wilayah yang kesulitan air bersih. Yang saya lihat dan alami langsung adalah ketika saya di FLores Timur dan Lembata sat menjadi relawan untuk Kopernik dalam program Indonesian Women for Energy. Air sebetulnya tersedia, tapi tidak dapat dikonsumsi karena kandungan kapur (di Flores) dan belerang (di Lembata) terlalu tinggi. Sehingga memasak air hanya membunuh bakterinya saja, kotorannya tetap ada dalam kandungan airnya. Apabila dikonsumsi terus-menerus tentu akan berdampak buruk pada kesehatan, seperti gangguan fungsi ginjal.

Bila mengonsumsi air yang kurang bersih, anak-anak bisa terkena diare. Diare dapat mengganggu anak-anak untuk mendapatkan haknya belajar dan menuntut ilmu. Semakin lama diare, semakin lama tidak sekolah, semakin tertinggal pendidikannya. Bahkan diare yang berkepanjangan bisa menyebabkan kematian.

Belum lagi jumlah minyak tanah untuk memasak air akan sangat banyak. Pengeluaran semakin besar dan semakin memberatkan masyarakat. Maka kompor biomassa bisa menjadi jawaban. Seperti di Desa Tuakepa, Flores Timur, selama ini kulit kemiri hanya dianggap sampah namun sekarang bisa dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk kompor biomassa. Cek VLOG perjalanan saya ke Tuakepa di sini.


Tech fair atau sosialisasi teknologi tepat guna di Desa Kobasoma bersama Mama Yoh. Demonstrasi penggunaan kompor biomassa.

Penerapan teknologi tepat guna in sejalan dengan Sustainable Development Goals dari PBB. Terutama poin 3, 4, 6, dan 7.

Elektrifikasi yang belum merata di Timur Indonesia juga masih menjadi masalah. Lampu tenaga matahari bisa menjadi solusi untuk penerangan. Penerangan di malam hari ini selain berguna untuk bekerja, terutama nelayan yang melaut di malam; juga bagi pelajar sekolah agar dapat belajar di rumah. Sebetulnya teknologi lampu tenaga surya dan panyaring air juga dapat digunakan di kota besar untuk menghemat penggunaan listrik. Jauh lebih hemat!

Selama dua minggu saya berkesempatan bertemu dengan perempuan-perempuan hebat, seperti Mama Merry, Mama Kris, Mama Mia, dan Mama Rovina. Saya belajar banyak dari para #IbuInspirasi yang saya temui selama di Flores terutama dari Mama Yoh dan Mama Esi.

Pengalaman yang menarik bagi saya untuk melihat langsung bagaimana pemanfaatan teknologi sederhana yang tepat guna. Bagaimana teknologi tersebut dapat membantu menghemat pengeluaran rumah tangga, dan dampak positif yang dirasakan langsung oleh warga. Sekaligus bisa menjadi alternatif mata pencaharian bagi para #IbuInspirasi ini.

Saya ingat ucapan Mama Mia:

"Menjadi #IbuInspirasi adalah berbagi kasih."

Sedangkan bagi Mama Yoh:

"Menjadi #IbuInspirasi bersama teknologi tepat guna adalah membantu diri sendiri, membantu keluarga, dan membantu sesama."


Hari terakhir di Larantuka bersama Mama Yoh sebelum saya pindah ke Lembata. Kami sedih berpisah.

Secara umum teknologi tepat guna adalah pemanfaatkan teknologi paling efektif untuk menjawab kebutuhan daerah yang masih tertinggal. Sekaligus, memanfaatkan teknologi yang ramah lingkungan dan ramah sosial di negara maju.

Ini dia VLOG perjalanan saya bersama Mama Yoh menuju Desa Tuakepa.

I have more stories to tell. Wait for my next post and don’t forget to hit that “Follow” button. 😀

Show More

Baca Cerita Relawan Lain